Biografi KH Kholil Bangkalan Madura © Hari Selasa tanggal 11
Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di
Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan,
ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat
sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang
sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan
nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat
berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek
moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang
bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal
dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah
dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai
Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai
Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah
cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan
anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih
terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik
dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa,
kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan
ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu)
sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh
dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai
pesantren untuk menimba ilmu.
Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya,
sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda
belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.
Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan.
Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok
Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di
Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih
mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Jarak antara Keboncandi dan
Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda
rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di
setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca
Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam
berkali-kali.
Orang yang Mandiri
Sebenarnya, bisa saja Mbah
Kholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi
ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun
Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi
perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh
ayahnya dalam bertani.
Akan tetapi, Mbah Kholil
muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan
orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di
Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik
itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu menjadi Santri Mbah
Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata
Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu
membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).
Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil
muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena
pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri.
Dan untuk mewujudkan
impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada
orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah
Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk
pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu
terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di
Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya.
Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya
tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan
mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi
juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859
M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke
Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik,
anak perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatlah
dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari
hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama
pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil
bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M,
Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh
Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di
Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin
Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi
Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa
(sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia)
pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar
di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak
dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak
mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.
Konon, selama di Mekkah,
Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang
lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman
seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak
habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.
Kebiasaan memakan kulit
buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari
Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
Mbah Kholil sewaktu belajar
di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH.
Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama
rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.
Sewaktu berada di Mekkah
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah
sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan
bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh
Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang)
menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang
digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak
ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup lama
belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang
dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan
ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah
diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa
Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Kembali ke Tanah Air
Sepulangnya dari Tanah Arab
(tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Mbah Kholil dikenal
sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal
sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi.
Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya,
Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1
Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak
santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya,
Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha;
pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah
Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat
kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak
Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa
kelahirannya.
Di tempat yang baru ini,
Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar,
tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari
Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Kholil
disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga
dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum
terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.
Geo Sosio Politika
Pada masa hidup Mbah
Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah
Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat; meskipun tidak
ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi,
menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah
silsilah bahwa Mbah Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari Bangkalan
(salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu,
apakah Mbah Kholil penganut Tarekat tersebut atau tidak?
Masa hidup Mbah Kholil,
tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya
sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.
Pertama: Ia melakukannya
dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil mempersiapkan
murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan
mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan
banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu
diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.
Kedua: Mbah Kholil tidak
melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik
layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk
(mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil pun tidak
keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah
mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan
diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda.
Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak
bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para
tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya,
ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil,
bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut
menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan
saja.
Mbah Kholil adalah seorang
ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan
maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada
zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak
seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku
bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda,
bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau
sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil
tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi
mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya.
Mbah Kholil sendiri pernah
ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang
terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun
tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.
Diantara sekian banyak
murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam
dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng,
Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri
Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok
Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem,
Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok
Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren
Asembagus, Situbondo).
Karomah Mbah Kholil
Ulama besar yang digelar
oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai
dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri
dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok
seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal
dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh
Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah
perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan
pengakuan seorang Nabi.
Adapun karomah Mbah Kholil
diantaranya:
1. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Kholil,
adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam
waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren.
Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata.
”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau
sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah,
ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah
bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan
terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah
Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir.
Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai
untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki,
dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH.
Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
2. Menyembuhkan Orang
Lumpuh Seketika
Dalam buku yang berjudul “Tindak
Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil
Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang
mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai
berikut:
“Suatu hari, ada seorang keturunan
Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun
belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa
menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil
untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan
pula anak dan istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan
orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka
sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di
depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah
Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya
berkata: “Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian.”
Melihat hal tersebut, kedua orang
sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit. Karena
Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari,
mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke
makam beliau.
3. Kisah Pencuri Timun
Tidak Bisa Duduk
Pada suatu hari petani timun di daerah
Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan
dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu
tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah
Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut
sedang mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab
tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam
para petani serentak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab
Mbah Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil
bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu
dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada
memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh
Kyai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah
berdiri”. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf
“qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai
‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai
dengan tegas dan mantap.
“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan
tanda tanya.
“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan.
Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para
petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban
penangkal dari Mbah Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya
petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka
melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus
tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini
merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin
melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun
hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena
ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka
diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah
Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan
maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri
itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini
menjadi sasaran empuk pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di
daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah
Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren
berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun,
dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan
timun.
4. Kisah Ketinggalan Kapal
Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal
laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang calon
haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada
suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya
dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal
belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil
bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal,
nampaknya tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya
masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama,
toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan
buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk
menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal
yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat
kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya,
tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat:
“Datanglah kamu kepada Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa
dirimu!” Ucapnya dengan tenang.
“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia,
kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu
pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar
membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup
pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang
malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut
dan ditanya: “Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang
dialaminya mulai awal hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata:
“Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan
hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki
tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu
Mbah Kholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya
dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang
menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah
Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya,
Mbah Kholil berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya
bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah
harapan.
“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu
dengan sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun
yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya
sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.
“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu
rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah
Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya
pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang
sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa
yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan,
bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya
di salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur
jauh sekali,” Dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan
seolah-olah datang dari arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang
dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah
Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia
baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar
biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar